Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune by mail
POST-DESCRIPTION-HERE
POST-DESCRIPTION-HERE
POST-DESCRIPTION-HERE
POST-DESCRIPTION-HERE

POST-TITLE-HERE

POST-DESCRIPTION-HERE
IMAGE-TITLE-HERE

POST-TITLE-HERE

POST-DESCRIPTION-HERE
IMAGE-TITLE-HERE

POST-TITLE-HERE

POST-DESCRIPTION-HERE
IMAGE-TITLE-HERE

POST-TITLE-HERE

POST-DESCRIPTION-HERE
IMAGE-TITLE-HERE

POST-TITLE-HERE

POST-DESCRIPTION-HERE
IMAGE-TITLE-HERE

featured-content2

featured-content2

featured-content2

featured-content2

Kenapa didalam al-Qur’an, kata al-Sama' didahulukan atas al-Bashar ?

15:22 1 Response
Oleh : Abu Fikri*)

Mungkin sewaktu membaca Al-Qur'an, kita sering mendapatkan ayat yang menyebutkan kata sama’ (pendengaran) dan bashar (penglihatan), tapi kita belum menyadari banyak, apa rahasia diawalkan kata “pendengaran” atas “penglihatan”. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya, kita simak hal-hal sebagai berikut:
1.Karena pendengaran sebagai pengemban tugas perdana di dunia. Maksudnya, bila ada satu anak Adam lahir ke dunia, maka pendengaran adalah unsur pertama yang berfungsi dalam menjalankan tugasnya. Jadi bukan penglihatannya. Sebab terhadap bayi yang baru lahir, bila kepadanya kita dengarkan suara yang bising, keras dan berisik, kenyamanan bayi tadi akan terganggu, akibatnya dia menangis. Hal ini berlainan apabila kita dekatkan tangan kita di depan matanya, mata bayi tersebut tidak berkedip dan tidak merasa adanya bahaya. Pendengaran, bisa juga disebut sebagai piranti perespon panggilan di akhirat kelak, karena pendengaran tidak pernah tidur selamanya.
2.Jika manusia dalam keadaan tidur, maka keadaan semua jadi lelap, kecuali pendengaran. Pada hakekatnya bila anda ingin membangunkan orang yang tidur, anda tidak bisa membangunkannya, dengan cara mendekatkan tangan Anda ke dekat matanya, sekalipun. Karena dia tidak akan merasakannya. Akan tetapi bila Anda menyerukan suara bising di dekat telinganya, dia akan bangun seketika.
3.Bahwasanya telinga merupakan sarana al-shilah atau penghubung antara manusia dan dunia. Kembali sejenak ke satu kisah Ashabul Kahfi, bahwasanya Allah swt. sewaktu menghendaki para penghuni Gua Kahfi tidur panjang selama 309 tahun, maka istilah yang dipakai oleh Allah adalah: فضربنا على آذانهم في الكهف سنين عدداً “maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun (309 tahun) dalam gua itu” (al-Kahfi :11). Di sini Allah memakai istilah kata "tutup". Dalam arti lain, Allah mendisfungsikan telinga mereka. Dengan demikian mereka bisa tidur nyenyak karena alat penghubung mereka dengan dunia telah ditutup.
Selanjutnya, coba kita cermati lagi, kata al-sama' selalu termaktub dalam bentuk mufrad (tunggal). Berlainan dengan kata al-bashar yang selalu tertulis dalam bentuk jama' (plural), sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, di surat Fushilat ayat: 22,
و ما كنتم تستترون أن يشهد عليكم سمعكم و لا أبصاركم
(Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran dan penglihatanmu).
Pertanyaannya kemudian, mengapa demikian? Secara akal, bisa saja Allah dalam firman-Nya mengatakan: “Asmaa'akum (pendengaran-pendengaranmu), wa abshaarakum (penglihatan-penglihatanmu)". Akan tetapi Allah tidak menggunakan ungkapan tersebut. Nah, disinilah Allah ingin menguakkan tabir buat kita akan satu kedetailan Al-Qur'an dalam kedalaman ma'nanya. Penglihatan dengan sensitifitasnya menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang dikehendaki manusia. Apakah dia ingin melihat atau tidak. Bila dia tak menghendaki untuk melihat sesuatu dia bisa memejamkan mata atau dengan memutar arahkan mukanya, sekedar untuk tidak mau melihat apa yang tidak dia sukai. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan fungsi pendengaran. Kita ambil contoh, misalnya anda berada dalam satu kamar bercakap-cakap dengan 10 orang maka suara mereka akan sampai di pendengaran anda baik anda mau atau tidak mau mendengarkannya. Baik penglihatan anda melihat kepada orang yang berbicara tsb. atau tidak atau bahkan memejamkannya sekalipun, maka pendengaran tidak bisa menolak untuk mau mendengar atau tidak mendengar atau sekalipun anda berpura-pura untuk tidak mau mendengar, maka anda tetap akan mendengarkannya.
Pada kenyataannya, penglihatan punya sifat ta'addud (plural), seperti saya melihat ini, Anda melihat itu, dan dia melihat apa yang diinginkannya. Seseorang yang memejamkan penglihatannya tidak akan melihat sesuatu, berarti mata tidak bisa menjalankan fungsinya. Akan tetapi pendengaran, selama kita berdiam dalam satu tempat, maka kita semua akan seragam dalam mendengarkan sesuatu. Dari sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa adanya kevariasian fungsi dalam “penglihatan” dan kesamaan fungsi dalam “pendengaran”. Maksudnya, setiap kita punya mata (penglihatan) bisa kita pergunakan untuk melihat macam-macam dari apa yang ingin kita kehendaki. Akan tetapi kita semua punya keseragaman dalam pendengaran dari satu hal yang kita dengar, baik yang kita kehendaki atau yang tidak kita kehendaki. Makanya, ungkapan yang pas untuk fungsi penglihatan adalah abshar (dalam bentuk jama’) dan fungsi pendengaran dengan sama' (dalam bentuk tunggal).
Sampai di sini, kita dapat mencapai satu kesimpulan bahwa “posisi” telinga (pendengaran) lebih afdlol dari mata (penglihatan). Menilik dari kelebihan yang dimilikinya, telinga (pendengaran) memiliki keistimewaan sebagai berikut ;
a. Pendengaran dapat bekerja dan tidak pernah tidur selama 24 jam. Sedang ciptan Allah yang tidak tidur lebih baik kedudukan dan fungsinya dari yang tidur.
b. Pendengaran langsung berfungsi semenjak detik diciptakannya. Sementara anggota badan yang lain ada yang butuh beberapa hari, bulan atau terkadang beberapa tahun untuk aktif berfungsi.
c. Mata (penglihatan) membutuhkan cahaya atau penerangan untuk bisa melihat, sedang dalam keadaan gelap mata tidak bisa melihat. Berbeda dengan telinga (pendengaran), ia bisa menjalankan fungsinya, baik disiang hari atau malam hari, dikegelapan atau terang, dalam keadaan terjaga atau tidur, dan dalam berbagai cuaca dan suasana, serta dimana dan kapan saja.
d. Pendengaran berfungsi sebagai alat informasi. Saya kira untuk fungsi yang terahir ini (informasi) sangat penting. Karena bila terjadi misinformation terhadap diri seseorang, jelas ini akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Makanya, setelah bayi lahir, kita kumandangkan adzan di telinga bayi
tersebut. Dengan harapan, supaya terpancang dan terukir kalimat tauhid didalam dirinya, sehingga kelak menjadi muslim yang taat dan tangguh. Dengan informasi pula, manusia bisa menumbuh kembangkan "tsaqofah”-nya untuk menggapai kehidupannya yang lebih baik dan berkualitas. Wallaahu a’lam bisshawab.
*Alumnus LIPIA Jakarta

Read more...

Uang, Godaan Yang Menggiurkan

14:38 0 Responses
Oleh : Abu Abidah*)

Seorang penyelundup yang sedang buron pergi menemui seorang bijak dan memintanya menyembunyikan barang-barang terlarang yang ada di dalam rumahnya. Ia yakin berkat kesalehan orang bijak itu, tak seorangpun akan mencurigainya.
Orang bijak itu menolak dan meminta penyelundup itu segera keluar dari rumahnya. “Saya akan memberikan 100 ribu reyal untuk kebaikan Anda”, kata si penyelundup. Orang bijak itu agak ragu-ragu sebelum akhirnya mengatakan ''tidak''.
“200 ribu”, orang bijak itu tetap menolak. “500 ribu”, dengan sigap orang bijak itu mengambil tongkat dan berteriak; “Keluar sekarang juga! Kamu sudah sangat dekat dengan harga saya”.
Sebuah kesadaran yang tepat waktu! Orang bijak itu sadar, begitu dirinya tergoda. Kesadaran ini sangat penting. Banyak orang yang tak sadar bahwa dirinya sedang tergoda. Mereka baru sadar setelah segalanya telah terjadi. Kurangnya latihan seringkali menyebabkan kesadaran datang terlambat.
Namun, ada lagi jenis kesadaran yang lebih tinggi tingkatnya daripada ini. Inilah kesadaran yang muncul sebelum peristiwa apapun terjadi. Anda sadar sepenuhnya akan keberadaan Anda, akan posisi, dan kekuasaan yang Anda miliki. Anda sadar sepenuhnya bahwa kedudukan dan jabatan Anda (apapun jabatannya) sangat rawan terhadap godaan
Semua jabatan memang rawan godaan. Karena itu Anda harus waspada dan sadar sepenuhnya terhadap segala bentuk godaan ini. Seorang pejabat pemerintah --terutama pemegang posisi strategis-- akan selalu digoda oleh para pengusaha yang ingin berbisnis. Para penegak hukum akan selalu digoda oleh para pelanggar hukum. Begitu juga dengan anggota legislatif, anggota KPU, anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, dan semua jabatan publik yang bertugas melayani masyarakat umum, tak terkecuali pegawai KBRI (di negara manapun berada), dan pegawai kantor lainnya --termasuk kantor yang mengurusi masalah TKI, PJTKI atau maktab istiqdam, misalnya, mereka harus sadar terhadap “politik uang” yang selalu mengintai setiap saat
Tak memiliki kedudukan formal pun bukan berarti bebas dari incaran politik uang. Para ilmuwan, cendekiawan, dan pengamat termasuk dalam kategori ini. Banyak pengamat yang dapat dibeli untuk kepentingan orang-orang tertentu. Mereka mau mempertaruhkan kecendekiawanannya demi pesan sponsor yang membiayai “proyek intelektualitasnya”. Contoh lain dalam skala kecil, sebagian dari TKI kita (terutama sopir perumahan), sekalipun selalu dihantui perasaan cemas --karena khawatir tertangkap pihak berwajib, tidak sedikit dari mereka yang nekad coba-coba “bisnis” TKW kaburan. Padahal mereka tahu akibat buruk yang akan mereka tanggung bila suatu hari tertangkap. Kenapa meraka bertindak senekad itu. Semuanya bermuara pada satu kata kunci: uang!
Seorang bijak, Sophocles, pernah mengingatkan kita, “Tak ada satu hal pun di dunia ini yang paling meruntuhkan moral selain uang”. Memang benar, uang adalah alat penggoda terbesar di dunia. Bahkan berbeda dengan jenis penggoda lainnya seperti wanita dan tahta, tidak ada satupun orang di dunia yang tidak membutuhkan uang. Kita semua sibuk mencari uang agar dapat hidup dengan layak. Bahkan para TKI --termasuk yang bergelar sarjana-- rela meninggalkan negerinya, meninggalkan kampung halamannya (padahal sangat mungkin masyarakat di kampungnya sangat membutuhkan kiprah “kesarjanaannya”), dan para TKI bulok (bujang local) pun rela meninggalkan anak dan istri yang dicintainya, demi mengejar uang (real).
Nah, karena kita memang mencarinya, sangat wajar kalau kita tergoda ketika ada orang yang menawarkan benda tersebut kepada kita.
Godaan terbesar uang adalah merubah pandangan hidup kita dari “memiliki” menjadi “dimiliki”. Kita memang perlu memiliki uang untuk menjalani hidup, tapi uang hanya berfungsi sebagai alat. Padahal, kitalah yang seharusnya menjadi tuannya. Celakanya, posisi ini seringkali bertukar karena godaan yang ditawarkan uang sangat kuat. Akhirnya kitalah yang “dimiliki” oleh uang. Tanda-tanda penyakit ini adalah kalau Anda mulai merasa takut kehilangan kedudukan atau pekerjaan Anda. Ini berarti Anda telah “dimiliki” oleh uang. Ini akan menghilangkan kebebasan Anda dalam mengungkapkan kebenaran.
Pandangan kita terhadap uang pun perlu kita telaah lebih jauh. Kita seringkali berpikir secara terbalik yaitu: have -> do -> be. Maksudnya, kita berusaha memiliki lebih banyak uang (have) agar kita dapat melakukan apa yang ingin kita lakukan (do), dan mengira kalau itu tercapai akan membuat kita lebih bahagia (be). Padahal, yang perlu kita lakukan adalah sebaliknya, yaitu be -> do -> have. Jadi, seharusnya yang pertama adalah menjadi diri sendiri (be), lalu melakukan apa yang harus dilakukan (do) agar dengan begitu kita memiliki apa yang kita inginkan (have).

*Alumnus Akidah Filsafat, IAIN Yogyakarta

Read more...

Menggapai Nur Ilahi

01:43 0 Responses
Oleh : Abu Zen

Aku dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan. Orang tuaku seorang bisnisman yang mumpuni. Beliau sangat tekun dalam menggeluti bisnisnya, sehingga beliau dikenal oleh teman-temannya dengan julukan "saudagar”. Aku mempunyai satu saudara perempuan. Kebetulan dia sudah berkeluarga dan tinggal dengan suaminya. Tinggal aku anak semata wayang dan sekaligus jadi anak kesayangan mama. Awalnya keluarga kami sangat bahagia. Selain ditunjang dengan materi, ayah dan ibu sangat harmonis dalam mengarungi kehidupan berumah-tangga. Mereka saling bahu-membahu dalam mengarungi bahtera keluarga. Misalnya, bila ayah sedang ke luar kota untuk mengontrol perusahaan yang ada di daerah, maka ibu yang menggantikan posisi ayah. Pokoknya, para tetangga akan merasa iri bila melihat kehidupan kedua orang tuaku yang saling pengertian, saling mengasihi, dan kelihatan selalu rukun. Setiap hari libur kami sekeluarga jalan bersama, kumpul bersama, bahkan tidak jarang kami masak-masak bersama. Walaupun seorang bisnisman, ayahku juga jago masak. Maklum, waktu muda dulu, ayah cukup lama hidup di pesantren.


Suatu hari, tepatnya hari Jum’at, ayah pulang dengan muka cemberut. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Dan baru kali ini aku melihat ayah pulang dalam keadaan cemberut dengan muka ditekuk. Marni, tolong ambilkan aku minum!" Ayah berteriak memanggil pembantu yang sedang sibuk di dapur. Biasanya ayah selalu mengambil sendiri kalau kebetulan Marni lagi sibuk. "Baik juragan, sambil tergopoh-gopoh membawakan air minum buat ayah. Sekali teguk, air itu habis diminum oleh ayah. Aku datang menghampirinya. "Kenapa sih Ayah hari ini mukanya ditekuk, jelek, seperti mobil habis tabrakan!" Aku mencoba mengawali pembicaraan. Dengan meyembunyikan kegelisahannya, ayah berusaha menjawab dengan datar. “Tidak ada apa-apa nak, ayah cuma kecapaian. Oh ya, mama mana?" "Tidak tau tuh, sepertinya sih pergi belanja”. Aku menjawab apa adanya. “Kebetulan, tadi sebelum ayah datang, aku melihat mama pamit ke Marni. katanya mau pergi ke mall”. "Ya sudah, ayah mau istirahat dulu". Sambil bangun dari kursi, ayah mengambil hand phone-nya, kemudian langsung pergi ke kamar. Entah dengan siapa ayah bicara, dia memaki-maki orang yang dia ajak bicara. Aku cuma tertegun bercampur heran. Tidak habis pikir melihat perubahan ayah yang sangat drastis. Sejak kecil aku tidak melihat ayah marah seperti pada hari ini.

Read more...

Bulan Ramadhan : Antara Sakralitas Dan Selebritas

23:25 0 Responses
Oleh : Rofiq Raqib, S.Pd.I *)

Puasa bagi kaum beriman merupakan pendakian rohani menuju puncak kebeningan hati dan kesucian spritual. Ramadhan bagi umat Islam bagaikan kawah candradimuka, tempat jiwa dilatih dan ditempa agar benar-benar memahami hakekat takwa (Q.S. 02 : 183). Muhamad Assad, seorang mufassir, mengartikan takwa sebagai god consciousness atau kesadaran ketuhanan yang mesti dihayati sebagai intisari beragama.
Al-Quran menyatakan bahwa puasa bertujuan untuk memantapkan ketakwaan. Insan yang bertakwa mempunyai karakter dan kepribadian yang integral dan total. Hidupnya selalu diabdikan untuk membangun keseimbangan antara kesalehan ritual dan kebajikan sosial. Dalam diri orang yang bertakwa, menyatu antara kata dan perbuatan. Sikap dan tingkah lakunya mencerminkan keagungan watak dan keluhuran budi pekerti.
Ramadhan yang berbuah takwa itulah yang dahulu selalu ditunggu dan dirindu oleh Nabi saw. dan para sahabatnya. Mereka berlomba mendulang pahala dan keutamaan yang tidak bisa didapat di bulan-bulan yang lain. Mereka berusaha menampilkan ritualitas peribadatan sesempurna dan sebanyak mungkin karena hanya di bulan Ramadhan, setiap kebajikan dibalas berlipat ganda. Tidak ada satu malam pun yg terlewatkan tanpa kesibukan bermunajat. I’tikaf menjadi hiburan rohani paling favorit dan cara yang sangat efektif untuk melakukan kontemplasi dan introspeksi diri.
Tetapi kini, fenomena Ramadhan yang penuh dengan sakralitas pupus karena bulan puasa seolah menjadi momentum selebritas bagi para artis, pelawak, pemasang iklan, dan pengarah acara di stasiun televisi untuk mempersembahkan kreasi terbaiknya kepada publik dengan kemasan relegius, meski nuansa komersialnya tak bisa dipungkiri. Sinetron bertema dakwah bertaburan memenuhi layar kaca yang diperankan oleh bintang-bintang film ternama yang hidupnya penuh dengan skandal asmara, perselingkuhan, dan perceraian. Para pejabat negara dan kalangan pengusaha juga tidak mau ketinggalan dengan mengadakan acara buka puasa bersama di sejumlah hotel berbintang. Tetapi yang hadir juga “sebangsa” atau selevel mereka. Sementara orang-orang miskin dan anak-anak terlantar hanya bisa menyaksikan tontonan “makan besar” itu lewat layar televisi. Puasa yang tadinya untuk memantapkan ketakwaan berubah menjadi sebuah “teater” atau “pertunjukan ibadah”.
Di sisi lain, para pedagang mulai dari pasar tradisional sampai super market menawarkan barang – barang yang menawan dengan harga khusus pada bulan ini. Para pedagang mengemas barang dagangannya dengan label agama yang pada gilirannya menyuburkan konsumerisme. Tradisi massif yang terjadi di mana-mana, seperti menyediakan menu buka puasa beraneka warna, telah ikut andil dalam kenaikan harga kebutuhan pokok. Apalagi ketika mendekati lebaran, ibu-ibu dan para gadis remaja tumplek-blek memenuhi pasar, berbelanja untuk membuat kue lebaran dan membeli baju baru. Akhirnya, pemerintah melalui BULOG dibuat sibuk untuk menjaga ketersediaan stock barang di pasar agar harga sembako tidak lari di luar kontrol.
Memang aneh tapi nyata, puasa yang seharusnya bisa menurunkan tingkat konsumsi masyarakat, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Konsumerisme meruah dan semakin menjadi-jadi. Akibatnya adalah kenaikan harga tidak bisa dihindarkan. Bagi orang kaya tentu tidak masalah, tetapi bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, kenaikan harga-harga dapat melahirkan keresahan dan kegelisahan. Bagi kalangan ekonomi kelas bawah, kedatangan hari raya membawa kegembiraan sekaligus juga penderitaan, karena lebaran artinya menambah jumlah hutang. Sungguh sebuah ironi yang tidak perlu dilestarikan. Kalangan ekonomi menengah-atas seharusnya mempunyai empati sosial dan menyadari bahwa saudara-saudaranya yang kurang beruntung juga ingin menikmati suasana gembira hari raya.
Dengan demikian, menurut Zacky Khairul Umam (Pembaruan Iman Sosial, 2005), ada dua makna penting yang harus dipahami. Pertama, puasa harus dipahami sebagai pengekangan egoisme dan kecerobohan emosional yang tirani. Yaitu, bagaimana puasa bisa membina moral-spritual secara konsisten, yang berdimensi transendental dengan meminimalkan kecendrungan nafsu hewani yang membutakan. Kedua, puasa harus dipahami sebagai pengekangan terhadap nafsu konsumerisme yang berlebihan serta selebritas yang cenderung artifisial dalam festival Ramadhan. Fenomena selebritas dakwah dan spritualitas yang didukung komoditas material adalah bagian dari kesemuan agama. Selamanya, kesemuan agama bukanlah jaminan revolusi moral-spritual, melainkan sebuah tampilan yang menggembirakan sesaat.


* Alumnus Fak Tarbiyah IAI al-Aqidah
Jakarta

Read more...

03:16 0 Responses
Masih dalam proses

Read more...

03:16 0 Responses
Masih dalam proses

Read more...

03:16 0 Responses
Masih dalam proses

Read more...