Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune by mail
Oleh : Rofiq Raqib, S.Pd.I *)

Puasa bagi kaum beriman merupakan pendakian rohani menuju puncak kebeningan hati dan kesucian spritual. Ramadhan bagi umat Islam bagaikan kawah candradimuka, tempat jiwa dilatih dan ditempa agar benar-benar memahami hakekat takwa (Q.S. 02 : 183). Muhamad Assad, seorang mufassir, mengartikan takwa sebagai god consciousness atau kesadaran ketuhanan yang mesti dihayati sebagai intisari beragama.
Al-Quran menyatakan bahwa puasa bertujuan untuk memantapkan ketakwaan. Insan yang bertakwa mempunyai karakter dan kepribadian yang integral dan total. Hidupnya selalu diabdikan untuk membangun keseimbangan antara kesalehan ritual dan kebajikan sosial. Dalam diri orang yang bertakwa, menyatu antara kata dan perbuatan. Sikap dan tingkah lakunya mencerminkan keagungan watak dan keluhuran budi pekerti.
Ramadhan yang berbuah takwa itulah yang dahulu selalu ditunggu dan dirindu oleh Nabi saw. dan para sahabatnya. Mereka berlomba mendulang pahala dan keutamaan yang tidak bisa didapat di bulan-bulan yang lain. Mereka berusaha menampilkan ritualitas peribadatan sesempurna dan sebanyak mungkin karena hanya di bulan Ramadhan, setiap kebajikan dibalas berlipat ganda. Tidak ada satu malam pun yg terlewatkan tanpa kesibukan bermunajat. I’tikaf menjadi hiburan rohani paling favorit dan cara yang sangat efektif untuk melakukan kontemplasi dan introspeksi diri.
Tetapi kini, fenomena Ramadhan yang penuh dengan sakralitas pupus karena bulan puasa seolah menjadi momentum selebritas bagi para artis, pelawak, pemasang iklan, dan pengarah acara di stasiun televisi untuk mempersembahkan kreasi terbaiknya kepada publik dengan kemasan relegius, meski nuansa komersialnya tak bisa dipungkiri. Sinetron bertema dakwah bertaburan memenuhi layar kaca yang diperankan oleh bintang-bintang film ternama yang hidupnya penuh dengan skandal asmara, perselingkuhan, dan perceraian. Para pejabat negara dan kalangan pengusaha juga tidak mau ketinggalan dengan mengadakan acara buka puasa bersama di sejumlah hotel berbintang. Tetapi yang hadir juga “sebangsa” atau selevel mereka. Sementara orang-orang miskin dan anak-anak terlantar hanya bisa menyaksikan tontonan “makan besar” itu lewat layar televisi. Puasa yang tadinya untuk memantapkan ketakwaan berubah menjadi sebuah “teater” atau “pertunjukan ibadah”.
Di sisi lain, para pedagang mulai dari pasar tradisional sampai super market menawarkan barang – barang yang menawan dengan harga khusus pada bulan ini. Para pedagang mengemas barang dagangannya dengan label agama yang pada gilirannya menyuburkan konsumerisme. Tradisi massif yang terjadi di mana-mana, seperti menyediakan menu buka puasa beraneka warna, telah ikut andil dalam kenaikan harga kebutuhan pokok. Apalagi ketika mendekati lebaran, ibu-ibu dan para gadis remaja tumplek-blek memenuhi pasar, berbelanja untuk membuat kue lebaran dan membeli baju baru. Akhirnya, pemerintah melalui BULOG dibuat sibuk untuk menjaga ketersediaan stock barang di pasar agar harga sembako tidak lari di luar kontrol.
Memang aneh tapi nyata, puasa yang seharusnya bisa menurunkan tingkat konsumsi masyarakat, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Konsumerisme meruah dan semakin menjadi-jadi. Akibatnya adalah kenaikan harga tidak bisa dihindarkan. Bagi orang kaya tentu tidak masalah, tetapi bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, kenaikan harga-harga dapat melahirkan keresahan dan kegelisahan. Bagi kalangan ekonomi kelas bawah, kedatangan hari raya membawa kegembiraan sekaligus juga penderitaan, karena lebaran artinya menambah jumlah hutang. Sungguh sebuah ironi yang tidak perlu dilestarikan. Kalangan ekonomi menengah-atas seharusnya mempunyai empati sosial dan menyadari bahwa saudara-saudaranya yang kurang beruntung juga ingin menikmati suasana gembira hari raya.
Dengan demikian, menurut Zacky Khairul Umam (Pembaruan Iman Sosial, 2005), ada dua makna penting yang harus dipahami. Pertama, puasa harus dipahami sebagai pengekangan egoisme dan kecerobohan emosional yang tirani. Yaitu, bagaimana puasa bisa membina moral-spritual secara konsisten, yang berdimensi transendental dengan meminimalkan kecendrungan nafsu hewani yang membutakan. Kedua, puasa harus dipahami sebagai pengekangan terhadap nafsu konsumerisme yang berlebihan serta selebritas yang cenderung artifisial dalam festival Ramadhan. Fenomena selebritas dakwah dan spritualitas yang didukung komoditas material adalah bagian dari kesemuan agama. Selamanya, kesemuan agama bukanlah jaminan revolusi moral-spritual, melainkan sebuah tampilan yang menggembirakan sesaat.


* Alumnus Fak Tarbiyah IAI al-Aqidah
Jakarta
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Bulan Ramadhan : Antara Sakralitas Dan Selebritas"

Post a Comment