Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune by mail
Oleh : Abu Zen

Aku dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan. Orang tuaku seorang bisnisman yang mumpuni. Beliau sangat tekun dalam menggeluti bisnisnya, sehingga beliau dikenal oleh teman-temannya dengan julukan "saudagar”. Aku mempunyai satu saudara perempuan. Kebetulan dia sudah berkeluarga dan tinggal dengan suaminya. Tinggal aku anak semata wayang dan sekaligus jadi anak kesayangan mama. Awalnya keluarga kami sangat bahagia. Selain ditunjang dengan materi, ayah dan ibu sangat harmonis dalam mengarungi kehidupan berumah-tangga. Mereka saling bahu-membahu dalam mengarungi bahtera keluarga. Misalnya, bila ayah sedang ke luar kota untuk mengontrol perusahaan yang ada di daerah, maka ibu yang menggantikan posisi ayah. Pokoknya, para tetangga akan merasa iri bila melihat kehidupan kedua orang tuaku yang saling pengertian, saling mengasihi, dan kelihatan selalu rukun. Setiap hari libur kami sekeluarga jalan bersama, kumpul bersama, bahkan tidak jarang kami masak-masak bersama. Walaupun seorang bisnisman, ayahku juga jago masak. Maklum, waktu muda dulu, ayah cukup lama hidup di pesantren.


Suatu hari, tepatnya hari Jum’at, ayah pulang dengan muka cemberut. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Dan baru kali ini aku melihat ayah pulang dalam keadaan cemberut dengan muka ditekuk. Marni, tolong ambilkan aku minum!" Ayah berteriak memanggil pembantu yang sedang sibuk di dapur. Biasanya ayah selalu mengambil sendiri kalau kebetulan Marni lagi sibuk. "Baik juragan, sambil tergopoh-gopoh membawakan air minum buat ayah. Sekali teguk, air itu habis diminum oleh ayah. Aku datang menghampirinya. "Kenapa sih Ayah hari ini mukanya ditekuk, jelek, seperti mobil habis tabrakan!" Aku mencoba mengawali pembicaraan. Dengan meyembunyikan kegelisahannya, ayah berusaha menjawab dengan datar. “Tidak ada apa-apa nak, ayah cuma kecapaian. Oh ya, mama mana?" "Tidak tau tuh, sepertinya sih pergi belanja”. Aku menjawab apa adanya. “Kebetulan, tadi sebelum ayah datang, aku melihat mama pamit ke Marni. katanya mau pergi ke mall”. "Ya sudah, ayah mau istirahat dulu". Sambil bangun dari kursi, ayah mengambil hand phone-nya, kemudian langsung pergi ke kamar. Entah dengan siapa ayah bicara, dia memaki-maki orang yang dia ajak bicara. Aku cuma tertegun bercampur heran. Tidak habis pikir melihat perubahan ayah yang sangat drastis. Sejak kecil aku tidak melihat ayah marah seperti pada hari ini.
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Menggapai Nur Ilahi"

Post a Comment